Selasa, 02 September 2014

SELAMAT UNTUK ESOK

Aku 15 tahun. Tahun itu yang mengantarkan Aku ke SMA Negeri Manada. Aku tak ada arah yang pasti, hanya seonggok boneka yang menuruti segala aturan kedua orang yang Aku sayangi, Ayah dan Ibu.
“Lita, kamu sekolah di Manada aja ya, yang deket. Ngga usah jauh-jauh, sekarang kan ongkos angkot udah naik.” Ya namaku adalah Meylita Segi Natasya. Dipanggil Lita. Dan sekarang, Aku dihadapkan pada situasi beradaptasi di sekolah pilihan Ibuku ini. Mungkin sehabis Aku lulus, Aku akan menjadi boneka yang kedua kalinya untuk Ayah. Dan TADAAAAAAA Aku mendengar kalimat ini : “Meylita anak Ayah, nanti Ayah harap kamu akan menjadi perawat yang baik dan kamu bisa nge-rawat Ayah dan Ibu kelak.” Mereka, apakah pernah berpikir tentang persetujuanku?
Hari pertama setelah MOS, Aku sempat kewalahan dengan pelajaran serba ngaktifin Aku banget.
“Kurikulum sekarang itu, siswa dituntut untuk aktif dan siswa menjadi objek bukan guru yang menjadi objek, tugas guru hanya membantu.” Manis deh kurikulum ini, dan semakin manis lagi karena di tahunku ini sebagai kelinci percobaan semenjak UN 20 paket. Waw! Terima kasih telah memilih kami.
            Aku duduk di meja yang terdiri dari 2 kursi. Tapi alangkah mirisnya ketika kursi itu hanya ditempati satu orang saja, yaitu Aku. Semua anak di kelas seakan sudah saling mengenal, dan Aku? Tak ada satu temanpun yang Aku kenal dengan akrab. Mungkin kesalahanku karena pendiam. Atau mungkin kesalahan mereka yang menghindar.
            Bel pulang yang dinanti pun berbunyi. Aku segera sigap menyiapkan teman sekelasku yang bahkan tanpa persetujuanku itu, mereka tega dan kompaknya menjadikanku sebagai ketua kelas. Bukan bahagia karena tanggung jawab, tapi kesedihan karena tanggung jawab yang Aku sendiri tak ada hak untuk vote saat itu.
***
“Ada hal baru di sekolah baru?” Tanya Fifi kakakku yang 3 tahun lebih tua dari ku, yang dari Aku bisa ngomong sampai detik ini ngga pernah manggil dia “Mba”.
            “Enggak ada, Fi.” Jawabku singkat sambil melepas kaos kaki baru di kakiku ini.
            “Ikut organisasi apaan?” Tanyanya lagi.
            “Jadi ketua kelas.” Jawabku nyeleneh dan masuk kamar.
            “Itusih bukan organisasi ah, Lit.”
            Aku masuk kamar dan mencoba belajar ulang materi yang Aku dapatkan di hari itu. Tekad yang baik ini semoga akan membawa hasil yang baik lagi nantinya. Tiba-tiba hapeku berdering, Aku membuka pesan masuk.
Lita, Aku Denna. Bisa ngasih tau jadwal pelajaran buat besok engga?
            Itu isi pesan masuknya. Aku kaget, mengapa Denna tanya soal jadwal pelajaran ke Aku? Padahal kan kita engga sekelas. Aku pun menjawab cuek :
Bahasa Inggris, Matematika, bahasa jawa.
            Aku kirimkan pesan itu ke Denna. Aku tak membuka ponsel ku lagi. Entah apa yang Denna jawab. Aku pun langsung tertidur pulas.
***
            Pagi yang cerah, diiringi sayup-sayup angin yang menggetarkan jiwa, menggetarkan hatiku pula saat Aku lihat di garasi tak ada sepeda kesayanganku.
“Apa? Ibu njual sepeda Lita? Terus Lita ke sekolah pake apa, Bu? Lita ngga habis pikir sama Ibu.” Omongan penyesalan itu yang Aku utarakan ke Ibu. Aku tak pernah berpikir kalau Ibu setega itu denganku. Tega menjual sepeda kesayanganku, hadiah perjuanganku melukis.
“Ini Ibu sama Ayah udah belikan motor buat kamu Lit. Biar kamu lebih cepat sampai ke sekolah terus lebih semangat lagi. Maafin Ibu ya, Ibu ngga ngomong dulu ke kamu.” Jawab Ibu lembut.
“Lita mau sepeda Lita.” Aku langsung pergi dengan bercucuran air mata.
***
“Good Morning Mom.” Salam hangat teman-temanku kepada Ibu Guru pagi ini.
“Oke anak-anak, disini ada Denna murid dari kelas IPS yang pindah ke sini. Silakan berteman.”
Aku kaget seribu kaget, Denna tiba-tiba duduk di sampingku mencoba menyapaku.
“Lit, makasih ya udah bales smsku.”
“Sama-sama Den...” Kata-kataku terputus karena Ibu Guru memberi tugas untuk mendeskripsikan tentang kedua orang tua.
Aku memandang Denna sedari tadi, dia tampak murung. Entah apa yang ada di benaknya kali ini.
“Den, kamu engga papa?” Tanyaku perhatian.
“Aku inget sama orang tuaku Lit, Aku tak pernah merasakan belaian kedua orang tuaku, tak bisa memandang lembut kedua matanya, dan tak bisa dimarahinya karena kesalahanku.”
“Maaf ya Den, Aku ngga bermaksud kaya gitu. Kita kan baru kenal, kok kamu mau sih curhat ke Aku?” Tanyaku penasaran.
“Aku biasa kok sering curhat ke siapa pun, ngga cuma kamu. Curhat ke Nino, Sheli, Raja, Sintia, Karin, Lili, Nindi, samaa....”
“Oke oke cukup, Aku ngerti kok.” Aku memutus pembicaraan Denna. Gila banget Denna, bahkan Aku dari dulu hanya curhat sekali ke temen SD ku dan Aku tak akan curhat lagi gara-gara dia membocorkan cinta monyetku.
“Kok nglamun sih? Sini Aku baca cerita kamu tentang kedua orang tuamu Lit, oke?” Kata Denna sambil mengambil kertas curahanku.
Aku tak boleh memberi kertas ini. Aku pun menjawab, “Privasi Den, sorry.” Jawabku tegas.
Tapi tetap saja Denna mengambil dan membacanya. Aku hanya bisa diam melihat tingkahnya. Tiba-tiba Denna menangis dan tak menyangka dengan tulisanku itu.
“Lit, Aku engga percaya kamu nulis setega ini. Orang tua kamu itu harus kamu sayangi Lit, malah kamu nulis yang ngga seharusnya. Kamu itu harusnya beruntung bisa hidup bareng sama mereka.” Katanya tersedu-sedu dan pergi meninggalkanku.
Aku hanya bisa diam, ikutlah air mataku bercucuran keluar. Aku langsung meremas kertas berisi keluhan amarahku itu dan langsung Aku tuliskan kata demi kata yang bahkan Aku yakin bahwa kedua orang tuaku takkan pernah memaafkanku yang seperti ini.
Ayah, Ibu. Mungkin hanya kata maaf yang bisa Aku utarakan. Selama Aku hidup, pastilah Aku selalu berbuat salah. Untuk sepeda pun Aku masalahkan, padahal maksudmu itu adalah kebaikanmu untukku. Sekarang Aku yakin bahwa Aku akan menjadi orang yang sukses dan bisa membanggakanmu karena doamu. Maaf, maaf dan maaf. Aku menyayangimu, Ayah, Ibu.
***
Sore itu Aku kehujanan, Aku tak pedulikan. Yang Aku inginkan adalah sampai ke rumah dan bertemu Ibuku.
Aku mengetuk pintu rumahku. Ibuku membuka pintu dan Aku pun  memeluknya erat.
“Lita kamu kenapa? Maafin Ibu yah, itu sepeda kamu udah balik. Eh kok kamu nangis? Lita sayang?”
Aku masih menangis sejadi-jadinya. Dan Aku melepas pelukan itu, Aku mencium kedua kaki Ibuku.
“Lita udah gak mikirin sepeda Bu, Lita cuma mau baikan sama Ibu, Lita yang salah Bu, maafin Lita Bu. Maafin Lita.” Aku kembali menangis.
Ibu mendekapku erat, “udah Lita, udah. Ibu selalu maafin kamu kok. Selama ini Ibu juga salah karena udah ngatur-ngatur kamu, Ibu sadar kalau kamu butuh kebebasan.”
Aku memandang Ibu. “Ibu yakin maafin Lita?”
“Iya.” Jawab Ibu yakin.
Aku sangat senang, Aku akan memeluk Ibuku lagi, tapi terhalang gara-gara pertanyaan kakakku.
“Lita bisa gak sih kamu mandi dulu? Bau got tau enggak.” Kata Fifi mencemooh ku.

“Oke kakakku sayaaaang.” Aku memeluk Fifi erat. Terasa sekali pelukan Fifi yang enggan karena basahku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar