Aku
15 tahun. Tahun itu yang mengantarkan Aku ke SMA Negeri Manada. Aku tak ada
arah yang pasti, hanya seonggok boneka yang menuruti segala aturan kedua orang
yang Aku sayangi, Ayah dan Ibu.
“Lita,
kamu sekolah di Manada aja ya, yang deket. Ngga usah jauh-jauh, sekarang kan
ongkos angkot udah naik.” Ya namaku adalah Meylita Segi Natasya. Dipanggil
Lita. Dan sekarang, Aku dihadapkan pada situasi beradaptasi di sekolah pilihan
Ibuku ini. Mungkin sehabis Aku lulus, Aku akan menjadi boneka yang kedua
kalinya untuk Ayah. Dan TADAAAAAAA Aku mendengar kalimat ini : “Meylita anak
Ayah, nanti Ayah harap kamu akan menjadi perawat yang baik dan kamu bisa nge-rawat
Ayah dan Ibu kelak.” Mereka, apakah pernah berpikir tentang persetujuanku?
Hari
pertama setelah MOS, Aku sempat kewalahan dengan pelajaran serba ngaktifin Aku
banget.
“Kurikulum
sekarang itu, siswa dituntut untuk aktif dan siswa menjadi objek bukan guru
yang menjadi objek, tugas guru hanya membantu.” Manis deh kurikulum ini, dan
semakin manis lagi karena di tahunku ini sebagai kelinci percobaan semenjak UN
20 paket. Waw! Terima kasih telah memilih kami.
Aku duduk di meja yang terdiri dari
2 kursi. Tapi alangkah mirisnya ketika kursi itu hanya ditempati satu orang
saja, yaitu Aku. Semua anak di kelas seakan sudah saling mengenal, dan Aku? Tak
ada satu temanpun yang Aku kenal dengan akrab. Mungkin kesalahanku karena
pendiam. Atau mungkin kesalahan mereka yang menghindar.
Bel pulang yang dinanti pun
berbunyi. Aku segera sigap menyiapkan teman sekelasku yang bahkan tanpa
persetujuanku itu, mereka tega dan kompaknya menjadikanku sebagai ketua kelas.
Bukan bahagia karena tanggung jawab, tapi kesedihan karena tanggung jawab yang
Aku sendiri tak ada hak untuk vote saat itu.
***
“Ada
hal baru di sekolah baru?” Tanya Fifi kakakku yang 3 tahun lebih tua dari ku,
yang dari Aku bisa ngomong sampai detik ini ngga pernah manggil dia “Mba”.
“Enggak ada, Fi.” Jawabku singkat sambil
melepas kaos kaki baru di kakiku ini.
“Ikut organisasi apaan?” Tanyanya
lagi.
“Jadi ketua kelas.” Jawabku nyeleneh
dan masuk kamar.
“Itusih bukan organisasi ah, Lit.”
Aku masuk kamar dan mencoba belajar
ulang materi yang Aku dapatkan di hari itu. Tekad yang baik ini semoga akan
membawa hasil yang baik lagi nantinya. Tiba-tiba hapeku berdering, Aku membuka
pesan masuk.
Lita,
Aku Denna. Bisa ngasih tau jadwal pelajaran buat besok engga?
Itu isi pesan masuknya. Aku kaget,
mengapa Denna tanya soal jadwal pelajaran ke Aku? Padahal kan kita engga
sekelas. Aku pun menjawab cuek :
Bahasa Inggris, Matematika, bahasa jawa.
Aku kirimkan pesan itu ke Denna. Aku
tak membuka ponsel ku lagi. Entah apa yang Denna jawab. Aku pun langsung
tertidur pulas.
***
Pagi yang cerah, diiringi
sayup-sayup angin yang menggetarkan jiwa, menggetarkan hatiku pula saat Aku
lihat di garasi tak ada sepeda kesayanganku.
“Apa?
Ibu njual sepeda Lita? Terus Lita ke sekolah pake apa, Bu? Lita ngga habis
pikir sama Ibu.” Omongan penyesalan itu yang Aku utarakan ke Ibu. Aku tak
pernah berpikir kalau Ibu setega itu denganku. Tega menjual sepeda
kesayanganku, hadiah perjuanganku melukis.
“Ini
Ibu sama Ayah udah belikan motor buat kamu Lit. Biar kamu lebih cepat sampai ke
sekolah terus lebih semangat lagi. Maafin Ibu ya, Ibu ngga ngomong dulu ke
kamu.” Jawab Ibu lembut.
“Lita
mau sepeda Lita.” Aku langsung pergi dengan bercucuran air mata.
***
“Good
Morning Mom.” Salam hangat teman-temanku kepada Ibu Guru pagi ini.
“Oke
anak-anak, disini ada Denna murid dari kelas IPS yang pindah ke sini. Silakan
berteman.”
Aku
kaget seribu kaget, Denna tiba-tiba duduk di sampingku mencoba menyapaku.
“Lit,
makasih ya udah bales smsku.”
“Sama-sama
Den...” Kata-kataku terputus karena Ibu Guru memberi tugas untuk
mendeskripsikan tentang kedua orang tua.
Aku
memandang Denna sedari tadi, dia tampak murung. Entah apa yang ada di benaknya
kali ini.
“Den,
kamu engga papa?” Tanyaku perhatian.
“Aku
inget sama orang tuaku Lit, Aku tak pernah merasakan belaian kedua orang tuaku,
tak bisa memandang lembut kedua matanya, dan tak bisa dimarahinya karena
kesalahanku.”
“Maaf
ya Den, Aku ngga bermaksud kaya gitu. Kita kan baru kenal, kok kamu mau sih
curhat ke Aku?” Tanyaku penasaran.
“Aku
biasa kok sering curhat ke siapa pun, ngga cuma kamu. Curhat ke Nino, Sheli,
Raja, Sintia, Karin, Lili, Nindi, samaa....”
“Oke
oke cukup, Aku ngerti kok.” Aku memutus pembicaraan Denna. Gila banget Denna,
bahkan Aku dari dulu hanya curhat sekali ke temen SD ku dan Aku tak akan curhat
lagi gara-gara dia membocorkan cinta monyetku.
“Kok
nglamun sih? Sini Aku baca cerita kamu tentang kedua orang tuamu Lit, oke?”
Kata Denna sambil mengambil kertas curahanku.
Aku
tak boleh memberi kertas ini. Aku pun menjawab, “Privasi Den, sorry.” Jawabku
tegas.
Tapi
tetap saja Denna mengambil dan membacanya. Aku hanya bisa diam melihat
tingkahnya. Tiba-tiba Denna menangis dan tak menyangka dengan tulisanku itu.
“Lit,
Aku engga percaya kamu nulis setega ini. Orang tua kamu itu harus kamu sayangi
Lit, malah kamu nulis yang ngga seharusnya. Kamu itu harusnya beruntung bisa
hidup bareng sama mereka.” Katanya tersedu-sedu dan pergi meninggalkanku.
Aku
hanya bisa diam, ikutlah air mataku bercucuran keluar. Aku langsung meremas
kertas berisi keluhan amarahku itu dan langsung Aku tuliskan kata demi kata
yang bahkan Aku yakin bahwa kedua orang tuaku takkan pernah memaafkanku yang
seperti ini.
Ayah, Ibu. Mungkin hanya kata maaf yang
bisa Aku utarakan. Selama Aku hidup, pastilah Aku selalu berbuat salah. Untuk
sepeda pun Aku masalahkan, padahal maksudmu itu adalah kebaikanmu untukku.
Sekarang Aku yakin bahwa Aku akan menjadi orang yang sukses dan bisa
membanggakanmu karena doamu. Maaf, maaf dan maaf. Aku menyayangimu, Ayah, Ibu.
***
Sore
itu Aku kehujanan, Aku tak pedulikan. Yang Aku inginkan adalah sampai ke rumah
dan bertemu Ibuku.
Aku
mengetuk pintu rumahku. Ibuku membuka pintu dan Aku pun memeluknya erat.
“Lita
kamu kenapa? Maafin Ibu yah, itu sepeda kamu udah balik. Eh kok kamu nangis?
Lita sayang?”
Aku
masih menangis sejadi-jadinya. Dan Aku melepas pelukan itu, Aku mencium kedua
kaki Ibuku.
“Lita
udah gak mikirin sepeda Bu, Lita cuma mau baikan sama Ibu, Lita yang salah Bu,
maafin Lita Bu. Maafin Lita.” Aku kembali menangis.
Ibu
mendekapku erat, “udah Lita, udah. Ibu selalu maafin kamu kok. Selama ini Ibu
juga salah karena udah ngatur-ngatur kamu, Ibu sadar kalau kamu butuh
kebebasan.”
Aku
memandang Ibu. “Ibu yakin maafin Lita?”
“Iya.”
Jawab Ibu yakin.
Aku
sangat senang, Aku akan memeluk Ibuku lagi, tapi terhalang gara-gara pertanyaan
kakakku.
“Lita
bisa gak sih kamu mandi dulu? Bau got tau enggak.” Kata Fifi mencemooh ku.
“Oke
kakakku sayaaaang.” Aku memeluk Fifi erat. Terasa sekali pelukan Fifi yang
enggan karena basahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar