Jumat, 11 Januari 2013

Tata pemerintahan Reformasi Indonesia



REFORMASI politik "98 adalah pintu gerbang Indonesia menuju sejarah baru dalam dinamika politik nasional. Reformasi politik yang diharapkan dapat beriringan dengan reformasi birokrasi, fakta sosial menunjukan, reformasi birokrasi mengalami hambatan signifikan hingga kini, akibatnya masyarakat tidak dapat banyak memetik manfkat nyata dari reformasi politik 98. Sabagai bukti nyata atas situasi tersebut adalah buruknya pelayanan publik, misalnya; biaya yang harus dikeluarkan masyarakat secara illegal dalam pengurusan berbagai dokumen, seperti; pengurusan KTP, pembuatan SIM, perpanjang STNK, pengurusan IMB, sertifikat tanah, ijin usaha, tata kelola pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJ) yang banyak menimbulkan kerugian Negara, dan lain lain. 

Kemudian kasus kasus Korupsi tidak semakin surut, bahkan telah merambah pada segala lini, tidak hanya di kalangan Eksekutif tapi juga merambah juga wilayah Legislatif, yang seharusnya lembaga wakil rakyat tersebut menjadi mesin control terhadap jalannya tata kelola Pemerintahan yang baik (good govemance), kemudian lembaga penegak hukum juga tidak luput dari wabah "kanker korupsi", kongkalikong dan konspirasi untuk memenangkang atau melindungi oknum tertentu, sehingga banyak tuduhan mafia peradilan yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum.

Dalam aspek politik dan hukum, reformasi birokrasi menjadi issue penting untuk mendapat kajian tersendiri, serta direalisasikan secara konsisten. Terlebih lagi, dikarenakan birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan Bangsa Indonesia dalam krisis yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
 

Namun demikian, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi dapat terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini.

Bila kita tilik sejarah ke belakang, buruknya mentalitas birokrasi kita saat ini, tidak terlepas dari warisan mentalitas, birokrasi Kolonial, yang berfungsi mengawasi dan mengontrol, serta menguasai masyarakat, bukan melaksanakan dan menjalankan pemerintahan dengan baik, dalam melayani dan melindungi masyarakat dari kesewenangan, ini fakta sosial, birokrasi lebih seperti pangreh praja dari pada pamong praja, lebih ingin dilayani dari pada melayani.

Mengutip, catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga, Prof Dr Ramlan Surbakti, yang banyak mengomentari atas fenomena birokrasi di Indonesia, birokrat di Indonesia memiliki kewenangan besar, sehingga hampir semua lini kehidupan masyarakat ditangani birokrasi.
 

Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana kebijakan, lebih bersifat menguasai dari pada melayani masyarakat. Akhirnya, wajar saja jika kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.

Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk menguasai masyarakat dengan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi.
 

Pada rezim lalu, birokrasi menjadi alat mempertahankan kekuasaan. Era Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan non karier. Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada kondisi birokrasi pemerintahan pada masa lalu.

Dalam masyarakat Madani (civil society), masyarakat merupakan subjek hukum dalam ruang public (Negara), sehingga, ketika terjadi kontrak publik antara masyarakat dan Negara keduanya berada pada posisi sejajar (equal position). Dalam kondisi seperti ini, peran masyarakat cukup penting dalam mendorong untuk mengurangi dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan birokrasi, serta mendorong pelayanan public yang lebih baik.

Birokrasi Weberian

Sosiolog Jerman, Max Weber adalah salah satu sosiolog penting yang banyak melakukan riset soal birokrasi, menurutnya organisasi birokrasi ditandai dengan, berbagai aktivitas regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban kewajiban resmi, kemudian, organisasi kantor kantor mengikuti prinsip hierarki, yaitu setiap kantor yang lebih rendah berada di bawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih tinggi, selanjutanya, operasi operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah kaidah abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah kaidah ini terhadap kasus kasus; spesifik, dan kemudian, pejabat yang ideal menjalankan kantornya berdasarkan impersonalitas, formalistic tanpa kebencian atau kegairahan, dan kerenanya tanpa antusiasme atau afeksi.
 

Birokrasi pemerintahan seringkali diartikan sebagai official kingdom atau kerajaan pejabat, yaitu suatu kerajaan yang raja rajanya adalah pejabat. Di dalamnya terdapat yurisdiksi dimana setiap pejabat memiliki official duties. Mereka bekeda pada tatanan hierarki dengan kompetensinya masing masing. Pola komunikasinya didasarkan pada dokumen tertulis.

Birokrasi Weberian, seperti pola dan system birokrasi saat ini kurang efektif diera modern, karena tuntutan dan partisipasi masyarakat yang cukup kuat, birokrasi yang ramping, efektif, efisien, professional, transparan, komunikatif, akuntabel dan memiliki visi pelayanan masyarakat yang baik serta bebas dari praktik praktik KKN yang sangat membebani masyarakat.

Birokrasi dan Politik

Hadirnya partai politik dalam sistem pemerintahan akan berpengaruh terhadap sistem birokrasi pemerintah. Susunan birokrasi pemerintah bukan hanya di isi oleh para birokrat karier tertapi juga pejabat politik.

Menurut teori liberal, bahwa birokrasi pemerintah menjalankan kebijakan kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang diperoleh dalam pemilihan umum. Dengan demikian birokrasi pemerintah itu bukan hanya di isi oleh para birokrat, melainkan ada bagian bagian tertentu yang diduduki oleh pejabat politik (Carino, 1994). Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pemimpin politik dari partai politik tertentu saja, melainkan ada juga pemimpin birokrasi karier profesional.

Ketika keinginan memasukkan pejabat politik dalam birokrasi pemerintah itu timbul, maka timbul pula suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini harus dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan antara fungsi kontrol dan dominasi (Carino, 1994). Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin dan mendominasi siapa.
 

Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi. persoalaannya kemudian timbul dua bentuk alternative solusi yang utama, yakni apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (bureaucratic ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation atau attempt at co equality with the executive   Carino, 1994).

Bentuk solusi executive ascendancy diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau berasal dari public interst. (The political leadership bases its daim to supremacy on the mandate of God or of the people, or on some nation of the public interest). Supremasi mandat ini dilegitimasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakuakan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai overhead democracy (Redford, 1969).

Dominasi kepemimpinan pejabat politik atas birokrasi, menjadikan masalah baru, yaitu menjadikan mesin birokrasi menjadi sedemikian berat menjalankan fungsinya, birokrasi menghadapi kendala inefisiensi, profesionalitas dan tidak jarang menjadi "sapi perahan" para politisi, demi kepentingan sesaat, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Menuju Reformasi Birokrasi

Dalam kampanyenya, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menekankan urgensi pemberantasan korupsi dan reformasi birokrasi. Kedua hal ini saling terkait erat, tidak mungkin dapat memberantas korupsi tanpa upaya reformasi birokrasi di internal pemerintahan. Restrukturisasi dan reposisi birokrasi Indonesia saat ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi perubahan sistem politik antara pemerintahan masa lalu dengan pemerintahan masa kini di era reformasi.

Pola birokrasi yang cenderung sentralistik, dan kurang peka terhadap perkembangan masyarakat, harus segera ditinggalkan, dan kemudian diarahkan menjadi birokrasi yang terbuka, transparan, akuntabel, professional dan mampu memberikan pelayanan public yang baik. Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, maka reformasi birokrasi suatu keharusan.

Reformasi birokrasi dapat diartikan sebagai perubahan secara mendasar, baik mind set, maupun culture set penyelenggara negara dari mentalitas, yang bersifat mengawasi, mengontrol dan menguasai masyarakat (colonial paradigm), menjadikan penyelenggara Negara (birokrasi) yang pro kepada Good public service serta tata kelola pemerintahan yang dapat meminimalisir terjadinya tindakan KKN baik pada tingkat suprastruktur dan infrastruktur penyelenggara Negara, dan penegakan supremasi hukum.
 

Dalam kaitan itu, reformasi birokrasi perlu menyentuh hal hal yang menyangkut rekruitmen CPNS yang terbuka bagi masyarakat dan bebas dari manipulasi, perampingan birokrasi, promosi jabatan yang transparan dan Perbaikan kesejahteraan aparatu Negara, kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah Undang undang yang menjadi payung hukum atas perbaikan tata laksana pemerintahan.

Rancangan Undang undang Administrasi Pemerintahan

Saat ini pemerintah Indonesia diwakili Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN), mengajukan RUU Administrasi Pemerintahan sebagai standar baku atas perbaikan birokrasi di Indonesia, ini suatu terobosan penting yang perlu di dukung semua pihak, mengapa RUU ini penting? menurut Prof Dr Safii Nugraha, Guru Besar Hukum Tata Negara UI, RUU AP adalah Undang undang Dasarnya Reformasi birokrasi, karena itu bila RUU ini ditetapkan menjadi UU maka dapat merubah wajah birokrasi Indonesia secara fundamental.
 

Secara filosopis RUU ini menempatkan dan mempertegas masyarakat sebagai subjek hukum ketika berhadapan negara, Negara dalam hal ini diwakili oleh administrasi negara (birokrasi atau aparat Negara), dan UU ini akan menjadi dokumen public bagi hubungan keduanya (Rakyat dan Negara) sehingga masyarakat berada dalam posisi sejajar (equal position) dengan pejabat administrasi Negara, selain itu RUU ini memiliki semangat pencegahan korupsi dari hulu, sehingga berfungsi preventif dalam upaya pencegahan korupsi di tubuh birokrasi pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar